Bahasa-Bahasa dan Suara

blue-butterflies-in-bottle-328168Suatu ketika saya berkunjung ke rumah Mbak. Mbak ‘Aisyah Ummu Maryam. Diantara seorang wanita yang paling saya cinta. Seperti biasa jika berkunjung ke rumahnya, saya selalu mengajak bermain dua keponakan yang ia lahirkan dari rahimnya. Maryam, dan Khaulah. Lalu berdiskusi tentang banyak hal. Mulai dari manhaj, fatwa-fatwa ulama, beberapa hal tentang fiqih yang saya dapatkan di kajian-kajian sekitar kampus, hingga sebuah tema yang paling sering dibahas belakangan ini : Munakahat.

Tak dinyana, suatu saat ketika sedang berbicara, beliau mengatakan sesuatu kepada saya

“cara bicaramu lho dek. Hati-hati. Kayaknya kok melembut sekali. Bahasa-bahasa seperti itu bisa bikin orang lain gimana-gimana lho.

“heee ? Iya po ? Ga ngerasa”

“Itu si Abi-nya Maryam juga bilang gitu. Dia bilang, kalau perempuan ngajak kamu ngobrol terus bahasamu seperti itu, bisa klepek-klepek dia mah”

Saya hanya mengernyitkan dahi, tanda kurang setuju.

Nope~

Agak tidak setuju~

——————————-

Sebenarnya kalau boleh jujur Mbak, bahasa semacam ini memang saya sengajai. Dibesarkan di beberapa tempat berbeda membuat bahasa saya menjadi aneh. Selama 13 tahun di Palembang saja, saya pernah berpindah lingkungan atau tempat tinggal sebanyak 6 kali. Jumlah yang sangat banyak!. Ketika pindah ke Batam pun, saya harus mengalami hal yang serupa sebanyak 3 kali. Hingga kemudian pindah ke tanah Jogja.

Well, kenapa saya men-sengajai berbahasa seperti ini Mbak. Tidak lain adalah untuk menghindari konflik integral karena pemilihan bahasa-bahasa yang salah. Beberapa kata yang terdapat di dalam bahasa-bahasa yang saya gunakan ketika di Palembang memiliki makna yang sangat berbeda di kota Batam. Dan ketika kemudian dibawa ke tanah Jawa, hal yang serupa saya temui kembali. Alhasil, saya memilih untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, kaku, dan literer. Saya katakana literer, karena terkadang bahasa yang saya gunakan cenderung nyastra. Hehe.

Lalu bagaimana hasilnya ?

“Mas Alfa, asalnya dari mana ? Jawa Barat ya ? dari Bandung bukan ?”

Kata ibu Utiyati Luthfi, Istri dosen kami dan sekaligus salah seorang pejabat di Kemahasiswaan Universitas. Sepertinya beliau mengira saya berasal dari Jawa Barat karena intonasi yang saya gunakan ketika itu, seperti halnya orang-orang sunda. Lembut, katanya.

Well, saya bukan orang sunda. Hehe .

“Mas, bahasamu itu romantis. Intonasinya lembut, apalagi kalau sedang cerita”

Kata Abdul Manaf, adik kelas yang sering main ke rumah kos.

Namun ada juga komentar yang aneh dan bikin kepikiran juga

“Mas Alfa itu ngomongnya lembut. Tapi cuma kalau ke akhwat aja”

Komentar yang unik. Diucapkan oleh seorang akhwat yang sebenarnya sudah lama sekali. Sekitar 3 tahun yang lalu sewaktu masih awal-awal di LDK. Boleh jadi benar. Boleh jadi salah. Semoga. Iya, semoga salah.

——————————–

Salah satu hal yang paling menyenangkan di dunia ini, menurut saya ialah mendengarkan seseorang bercerita sampai ia merasa puas dengannya. Lalu mendengar ia meminta agar kita menanggapi kisahnya, lalu kita mampu membahasakan sesuatu, meski tidak seperti yang ia inginkan, akan tetapi membuat wajahnya lebih berbinar setelahnya.

——————————–

Oke. Tulisan ini mengarah ke curhat. But, it’s okay. Meski judulnya aneh, tapi ga apa-apa. Sudah sebulan lebih enggak nulis karena sedang disibukkan mencari ma’isyah. Hehe.

 

Pojok Kamar Bercat Biru,

23 Oktober 2014, 06:30

Alfarisy – Adiknya Mbak ‘Aisyah

 

 

Leave a comment