Dilema Buka Puasa Bersama

Bismillah.. assholaatu wassalaamu ‘ala Rosulillaah.. wa’alaa alihii washohbihii ajma’in…

Kemarin dan dua hari yang lalu, saya mendapatkan undangan dari beberapa di antara rekan-rekan terdekat saya selama bertempat tinggal di kota Jogja. Undangan tersebut adalah undangan yang khas, yang umumnya hanya akan terjadi di bulan Ramadhan. Yap, tepat sekali. Undangan buka puasa bersama. Dan, undangan kali ini adalah dalam rangka buka puasa bersama rekan-rekan sejurusan di program studi kami di kampus ini.

Setelah menimbang-nimbang, akhirnya saya putuskan untuk tidak hadir. Sayang sekali memang. Akan tetapi saya rasa tidak memiliki opsi lain.

========================

10 Makanan Paling Enak DiduniaBulan Ramadhan selalu saja seperti itu. Momentum Ramadhan biasanya akan dimanfaatkan untuk ajang reuni pada sebagian kalangan. Wajar saja. Pada momentum Ramadhan, akan banyak dijumpai hari libur dan hari-hari selo. Buat mereka yang kini sudah bekerja mungkin kondisinya lebih sulit untuk mengatur jadwal semacam ini. Akan tetapi pada kalangan mahasiswa, kegiatan semacam ini menjamur dan sangat subur.

Maka tidak heran, pada awal-awal Ramadhan biasanya mulai beredar sms/email/inbox FB/Pengumuman di Grup FB dan semacamnya, yang isinya adalah undangan buka puasa bersama dari berbagai latar belakang. Sebagian diantaranya yang paling jamak adalah; buka bersama rekan-rekan SD, SMP, SMA, dan terakhir yang datang pada saya adalah rekan-rekan satu jurusan. Menyenangkan memang.

Lalu pada sebagian yang lain, jenis undangan buka puasa bersama lebih variatif lagi seperti; buka puasa bersama rekan-rekan KKN, rekan-rekan asisten sebuah laboratorium, rekan-rekan KOAS, dan sebagainya. Saya sendiri, pada tahun 2011 pernah mengadakan hal semacam ini dalam rangka reuni bersama rekan-rekan SMA, di Kota Batam.  Namun sejak Ramadhan tahun ini, saya sudah memutuskan untuk memberikan banyak pertimbangan untuk menghadiri acara yang semacam ini. Bukan. Bukan karena saya sombong, angkuh atau semacamnya. Bukan pula saya malu untuk bertemu karena takut ditanya-tanya “Kok belum nikah?” atau “Kapan lulus?”. Akan tetapi sungguh, ada pertimbangan lain.

=====================

Beberapa waktu yang lalu, saya sempat berdialog dengan Bang Muhlis – CEO eBimbel Jogja – dan membicarakan tentang banyaknya undangan semacam ini. Lalu kami ternyata memiliki beberapa kesepahaman alasan kenapa kami tidak ingin atau tidak suka hadir dalam kegiatan semacam ini. Kira-kira, inilah pula alasan saya kenapa (sudah) tidak berniat untuk hadir dalam reuni berlabel buka bersama semacam itu, termasuk undangan yang terakhir dari rekan-rekan jurusan

Pertama, Sangat sering terjadi penyia-nyiaan waktu sholat. Ini hampir selalu terjadi pada kegiatan buka puasa bersama. Duh, betapa malangnya rasanya saya, jika harus (kembali) berada dalam kondisi semacam itu. Sholat magrib terutama. Ada beberapa resiko penyia-nyiaan waktu sholat yang biasa terjadi pada saat kegiatan buka puasa bersama seperti ; tidak sholat berjamaah di masjid ; kalaupun sholat jamaah di masjid, maka minimal jadi masbuq atau bahkan buat jamaah baru ; dan kalau lagi sial, biasanya sholatnya malah umpek-umpekan di mushollah minimalis milik rumah makan yang dijadikan tempat buka puasa.

Saya jadi ingat ketika buka puasa bersama kelas X SMA, sebagian besar rekan-rekan saya tidak mengerjakan sholat magrib ketika itu. Dan saya harus pamitan dengan rada-rada menyesal telah ikut kegiatan, dan lalu bersegera mencari masjid. Waktu itu, saya telat sholat Magribnya sekitar 45 menit. Sedihnya!

Kedua, Ngobrolnya jadi bablas, hingga mendekati Isya. Atau bahkan bablas Isya. Akibatnya malah tidak sempat sholat Isya jama’ah di Masjid. Parahnya lagi, sampai bablas sholat taraweh. Ini, saya juga pernah ngalamin.

Ketiga, Ikhtilat (campur baur laki-laki dan perempuan). Pada tulisan sebelumnya, saya sempat dicela karena menuliskan bahaya ikhtilat akan tetapi sendirinya, saya dituding tidak bisa menghindari ikhtilat secara total. Maka saya katakan, tentu saja kita tidak bisa menghindari ikhtilat secara total. Karena bagaimana lagi? Pasar, kampus, bahkan sebagian masjid saja masih mudah atau bermudah-mudahan dalam ikhtilat.

Akan tetapi, buka puasa bersama tentunya memiliki kondisi yang berbeda. Buka puasa bersama adalah kondisi yang kita bisa menghindarinya, atau dalam hal ini ikhtilat dalam buka puasa bersama adalah sebuah hal yang kita bisa mengindarinya, karena ini ada dalam kuasa kita. Yakni dengan cara: tidak menghadirinya. Bandingkan dengan kampus, pasar, bandara, stasiun, dan semacamnya yang kita tidak punya kuasa terhadapnya.

Keempat, Interaksi dalam buka puasa bersama kadang bisa bablas. Ini serius. Apalagi banyak diantara rekan-rekan yang hadir dalam buka puasa bersama, sudah memiliki ikatan batin yang kuat. Katakanlah saya, di mana rekan-rekan di prodi sudah terasa saudara semua. Dekatnya ya boleh dikatakan sudah dekat banget. Atau katakanlah rekan-rekan KKN, yang sudah dianggap sebagai kakak dan adik sendiri, mbak dan mas sendiri. Ini jelas bahaya. Soalnya mereka tetaplah bukan termasuk bagian dari mahrom. Sehingga seharusnya berlaku kaidah-kaidah interaksi kepada yang bukan mahrom dalam kegiatan semacam ini. Misal, menundukkan pandangan, berbicara seperlunya. Nah, bisa tuh dalam kegiatan buka puasa bersama menerapkan hal ini ? Enggak deh kayaknya. Saya juga enggak bisa. Jadi mengindar lebih baik

Dan terakhir, saya ada kajian rutin menjelang buka puasa. Hehe. Bukan ngejar takjilnya lho yah. Tapi InsyaAllah lebih kepada berharap akan ilmu dan ampunan Alloh ta’ala kepada orang-orang yang berada dalam majelis yang mengingat Alloh seperti yang dijelaskan dalam sebuah penggalan hadits yang agak panjang  yang diriwayatkan dari Abu Daud, dari Abu Darda’, dari Rasululloh shallallahu ‘alayhi wa sallam,

…………..Sesungguhnya malaikat meletakkan sayapnya sebagai tanda ridho pada penuntut ilmu. Sesungguhnya orang yang berilmu dimintai ampun oleh setiap penduduk langit dan bumi, sampai pun ikan yang berada dalam air. ………  (Hadits ini dinilai shohih oleh Al-Albani)

Kebetulan pula, kajian yang saya ikuti dalam hal ini adalah kajian yang menggunakan kitab. Lewat sehari, dampaknya kerasa banget. Hehehe

=========================

Mungkin memang  ada sedikit kesedihan tidak bisa berkumpul bersama rekan-rekan yang telah membersamai selama 4 tahun kuliah di kampus ini, terutama karena akhir-akhir ini, setelah masa-masa penelitian dimulai, kami sangat jarang bertemu untuk sekedar bercengkerama. Terlebih kemudian salah seorang rekan saya berkata dalam pesan singkatnya

“Boleh jadi, ini adalah momen kita untuk bareng-bareng semua terakhir kalinya”.

Hehehe. Tapi tidak apa. Mengingat hal itu, hal yang pertama kali terlintas dalam pikiran saya ketika itu adalah

“apabila engkau dihadapkan pada pilihan-pilihan, maka ambillah yang lebih mendekatkan dirimu kepada Alloh Ta’ala…”

So, it’s simple. Rasanya sudah jelas pilihan yang seharusnya diambil.

====================

Terkait momentum bareng-bareng yang terakhir, saya lebih mengidamkan melihat rekan-rekan saya mem-bersama di surga ketimbang hanya pada sebuah restoran yang (agak) mahal.

Sungguh ketahuilah, tidak hadirnya saya dalam undangan yang ditujukan kepada saya, bukan berarti kurangnya rasa cinta saya kepada mereka. Hanya saja, bukankah Alloh lebih pantas untuk selalu didahulukan?

====================

Semoga Alloh melembutkan hati kita, agar mudah menerima hidayah wat-taufiq. Sehingga kita bisa bersama-sama, berdekapan dalam indahnya cinta, di surga.

 

Pojok Kamar Bercat Biru

Karang Asem, Depok, Yogyakarta Tercinta.

Hari ke-17 Ramadhan, 15 July 2014

05:29

Ahmad Muhaimin Alfarisy

8 thoughts on “Dilema Buka Puasa Bersama

  1. Min boleh tanya gak, Kan kita gak boleb buka puasa bersama campur baur laki laki perempuan. Disaat saya sama teman2 perempuan saya buka puasa bersama, tp teman perempuan saya membawa suaminya. Jd hukumnya gimana ya min. Terima kasih

Leave a reply to maisyarahpradhitasari Cancel reply